DINARA: LAMUNAN— CERPEN

     Berduduk di kasur dan memegang secarik kertas merupakan kegiatan yang hampir ia lakukan setiap malam. Sesekali ia menggerakkan pena di tangannya dan menggigit ujungnya. Tak jarang juga ia menatap kepada langit-langit yang tidak berplafon. Entah apa maksud dari itu semua. Bahkan sempat terlihat, ia tidak bergerak tapi matanya memandang kosong kepada kertas yang kosong di depannya.
    Ia Dinara, gadis yang sedang menuju dewasa dengan segudang lamunan di otaknya. Setiap malam ia hampir terduduk berjam-jam di atas kasurnya tanpa bersuara. Ia selalu terlihat diam tanpa gerak dan kata. Ia hanya menggerakkan tangan dan jarinya saat menulis di secarik kertas itu. Entap apa yang ia tulis, tapi kegiatan itu cukup intens ia lakukan setiap malam.
    Empat sampai lima jam ia habiskan setiap malam untuk melamun dan menulis di secarik kertas itu. Ibunya yang penasaran dengan kertas itu, selalu mencari setiap ia pergi keluar rumah. Tapi kertas itu tidak pernah ditemukan, entah dimana Dinara menyimpannya. Karena ingin tahu, ibunya berinisiatif untuk menanyakannya nanti malam. Terlihat Dinara sedang kembali melamun di atas kasurnya.

   "Apa yang sedang kau lakukan Dinara?"
   "Mengerjakan tugas ibu"
   "Tugas apa lagi? Kau saja sekarang sudah tidak sekolah, kau sekarang pengangguran."

    Mendengar itu, Dinara meremas kertas itu dan membaringkan tubuhnya. Ia tidak tidur, melainkan melamunkan perkataan ibunya, betapa ia merasa gagal karena setelah selesai sekolah ia tidak memiliki pekerjaan ataupun kuliah. Ia ingin bekerja tapi ayahnya tidak pernah mengizinkannya, tidak pernah ada alasan jelas mengapa ia tidak bolah bekerja. Tapi ada alasan jelas kenapa ia tidak melanjutkan kuliah, yaitu karena orang tua tidak memiliki biaya. Setiap hari ia hanya membantu pekerjaan rumah, bahkan ia juga jarang keluar rumah. Sekalinya ia keluar, itu merupakan perintah ibunya untuk membeli sayur dan kebutuhan rumah.

***

    Malam yang lain pun tiba, namun tak seperti biasanya. Dinara tidak melamun, ia juga tidak memutar-mutarkan penanya. Ia menulis di secarik kertas dengan serius, ia menuliskan keinginan-keinginannya yang entah kapan ia dapatkan. Hampir ada 30 list yang ia tulis malam itu, ia sangat berambisi dalam menulisnya. Salah satu dari list tersebut yaitu Shibuya, Kota yang jauh dari kampungnya, bahkan kota yang jauh dari kenyataan Dinara. Ia menuliskan alasan bahwa Shibuya merupakan tempat yang ramai oleh pejalan kaki, bukan kota yang ramai oleh suara klakson kendaraan. Ia beberapa kali melihat tulisan Shibuya itu dan ia beberapa kali tersenyum. Shibuya merupakan lamunan terbesar ya, berharap ia suatu saat bisa menginjakan kaki di atasnya. 
    Malam itu ia tidur lebih cepat karena ia tak banyak melamun dan ia pun tertidur dengan sedikit pikiran. Paginya ia pun terbangun dengan kegembiraan, ia mengambil air dan membasuh mukanya, segar rasanya seperti tak ada beban dan ia sangat menikmati.
   "Sudah bangun kau nak?"
   "Iya sudah Pak" menjawab dengan senyum lebar.
   "Mau kemana, sepagi ini kau sudah cuci muka?"
   "Tak kemana-mana Pak, Dinar hanya ingin menghirup udara sepagi ini"
   "Walah nak, kamu kok lucu sekali. Jangan lupa bantu ibumu"

  Setengah jam ia duduk di risban di samping rumah. Setalah itu ia pun kembali membantu ibunya mengurus rumah, ia menyapu rumah dan mencuci pakaian sekeluarga.
   "Din, Ibu mau ke pasar, kau urus rumah dulu ya!"
   "Iya Bu, ini sudah hampir selesai kok."
   "Wahh, tumben sekali jam segini sudah selesai"
    Ia tak menjawab, ia hanya tersenyum. Dinara masih merasa bahagia atas list yang telah ia buat. Ia menyimpan kertas list itu dengan baik.
    Pekerjaan rumah pun telah selesai, ia kembali ke kamarnya mencari kertas list yang ia simpan. Berkali-kali ia memandang kertan itu segan tersenyum.

      "Bila saja Shibuya jadi kenyataan"

 Terpikirkan lah olehnya untuk membicarakan tentang Shibuya kepada orang tuanya. Ia mencari dasar alasan untuk bisa mendapat restu dari orang tuanya.

***

    Setelah ia dari ladang membantu ayah mengambil ubi, ia dan ayahnya beristirahat di bawah pohon rambutan di sisi ladang.
   "Pak, bapak tau tentang Shibuya tidak?"
   "Tidak" jawabnya datar
   "Dinar ingin kesana pak, Shibuya di Jepang."
   "Mau apa kamu kesana? Jadi TKI?“
   "Bapak bercanda saja, bolehkah Dinar mencari beasiswa untuk kuliah di Jepang pak?" 
   "Kesambet apa kamu Din, jangan berpikiran lebih. Bapak tidak merestui kamu kuliah, bapak dan Ibumu ini sudah tua, tidak ingin terpisah dari anak semata wayang" 
   "Tapi Dinar ingin sekali kuliah pak, lagi pula bila Dinar dapat beasiswa bapak dan ibu tidak perlu mengeluarkan uang."
   "Din bapak tidak melarang, tapi coba kamu lihat bapak ibumu ini"
   "Kalau Dinar bisa kuliah di Jepang, bapak dan ibu akan bangga. Pulang dari sana Dinar pasti sukses dan membahagiakan bapak dan ibu" 
   "Sudahlah Din, bapak tak mau mengencangkan urat di leher. Mari pulang bapak sudah lapar!"

 Mendengar jawaban-jawaban dari bapaknya, ia kembali terlihat murung. Pada malam pun ia kembali dengan secarik kertas dan lamunan. Membayangkan sedang berjalan di perempatan kota Shibuya. 

   "Apa memang aku tak berjodoh denganmu, Shibuya?"

(ilhamkm) 


Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca. Nantikan kelanjutan dari cerpen Dinara ya. Karena akan ada kelanjutan dari cerita Dinara ini. Klik langganan untuk mendapatkan notifikasi setiap aku post di blog ini. Saran dan masukan bisa ditulis di kolom komentar ya teman-teman. Selamat membaca~


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Mantra Kehidupan.

SUSUNAN PENGURUS ROMANSAKA 2014/2015

Senandika 26